Minggu, 14 Oktober 2012

Jurnalistik 1 Teknik Dasar Penulisan Berita



Bab 1



I.               Pendahuluan

Jurnalistik dan pers sangat erat kaitannya. Pengertian dari pers sendiri adalah dari kata pers yang artinya adalah media. Karena itulah pers digunakan sebagai alat, sarana, atau wadah untuk menyiarkan produk-produk jurnalistik.
Jurnalistik adalah merupakan suatu aktivitas dalam menghasilkan berita, maupun opini. Mulai dari perencanaan, peliputan dan penulisan yang hasilnya disiarkan pada publik atau khalayak pembaca melalui media/pers. Dengan kata lain jurnalistik merupakan proses aktif untuk melahirkan berita. Hasil dari proses jurnalistik yang kemudian menjadi teks yang dimuat di media, berupa berita maupun opini.
Untuk menghasilkan teks yang baik dalam bentuk berita, ada beberapa cara atau teknik yang harus diketahui, agar dalam penyusunannya menjadi lebih teratur sehingga ketika berita yang akan dimuat di media dapat lebih mudah diterima oleh publik. Dalam makalah ini akan membahas apa saja yang ada dalam berita, cara pengolah berita berdasarkan teknik yang telah ada, seperti 5W/1H dan berdasarkan fakta yang ada, serta nilai berita atau News Value.
Berita juga memiliki anatomi layaknya tubuh kita. Yang biasa disebut piramida terbalik. Struktur atau anatomi berita ini juga sangat penting dalam proses pembentukan berita. Karena dalam anatomi berita ini, kita mempelajari susunan berita itu terdiri dari apa saja. Selengkapnya akan dibahas dalam bagian pembahasan.
Bab II

II.            Pembahasan

1.    Sumber Berita

1.1  Mengenal Sumber Berita
Jenis berita sesungguhnya mengarah ke sumber berita. Hal yang menjadi masalah adalah bagaimana wartawan dapat mengenal secara dekat sumber-sumber tersebut. Jadi, kepandaian bergaul juga menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi seorang wartawan, selain tentunya pengetahuan bidang yang dipilih dan dasar-dasar jurnalistik. Gabungan semua itulah yang disebut dengan keterampilan jurnalisme.
Banyak pemimpin redaksi menyarankan wartawannya untuk juga bersifat ambiguitas dalam menjalankan hubungan dengan sumber berita. Dalam dua sisi yang bersifat ambiguitas ini wartawan berpengalaman biasanya sudah punya kearifan dalam mengambil sikap yang seharusnya dimiliki.
1.2  Tiga Bentuk Sumber Berita
Sumber-sumber berita harus dikelompokkan menurut jenis beritanya. Jenis berita politik tertentu berbeda dengan sumber berita jenis kejahatan atau hukum dan peradilan.
Untuk masing-masing jenis atau bidang pemberitaan selalu mencakup sumber-sumber sebagai berikut:
a.                Sumber Berita Atas Nama Pribadi: mencakup orang-orang biasa yang juga biasa (ordinary mum) disebut mum in the street (seperti pengunjung pameran, preman terminal, orang-orang berlalu-lalang diparkir, pengantar surat, atau berdasarkan profesi seperti polisi, petugas administrasi kesehatan, pegawai kantor pengadilan, penjaga kamar mayat,dan sebagainya.
b.               Sumber Berita Pribadi Atau Nama Kelompok Atau Golongan: mencakup tokoh masyarakat (opinion leader), pimpinan organisasi bisnis, pimpinan teras partai (the party machinery), anggota parlemen, para pimpinan yang mewakili komunitas tertentu (suku, bangsa, pemuda, anak, remaja dan lain-lain).
c.                Sumber Berita Organisasi/Lembaga/Instansi: mencakup partai politik, pejabat pemerintahan atau lembaga publik (pejabat humas-PR), asosiasi dagang, asosiasi industri, dan dinas penerangan militer.
Dibawah ini akan dijelaskan secara konkret apa saja yang dapat disebut sebagai sumber berita. Memahami sumber berita merupakan bagian dari keterampilan  dibidang kewartawanan. Didalam bukunya yang berjudul Newspaper Reporting of Public Affairs, C.R.Bush menyebutkan beberapa hal mengenai keterampilan wartawan/reporter yang harus dikembangkan, yaitu:
ü    Harus dapat mengembangkan dirinya sebaik mungkin sebagaimana sumber beritanya yang artinya seorang wartawan harus pandai bergaul dengan siapa saja agar dia dapat mengenal betul-betul sumber-sumber beritanya itu
ü    Selalu ingin tahu
ü    Selalu antusias dan penuh perhatian atau peka, dalam mencertakan suatu kejadian, harus berupaya membri jawaban atau pertanyaan yang sangat punya arti terhadap suatu kejadian yang muncul secara alamiah dalam pikiran  pembacanya, sperti jumlah korban pada sebuah kecelakaan, proses pencarian dan evakuasi korban sebuah bencana, dan lain sebagainya.
ü    Harus bersikap kritis terhadap setiap informasi yang diperolehnya, yang artinya semua informasi harus diteliti kebenarannya dan keabsahannya pun diperiksa kembali.
ü    Resourceful, artinya bila ada suatu informasi menyangkal secara jelas, dan mencoba menemukan sumber lain yang lebih cermat dan melengkapi.
ü    Harus menghormati sumber berita yang memercayakannya untuk menggunakan informasi yang diberikan, misalnya seorang wartawan sudah seharusnya melindungi sumber beritanya jika sumber tersebut tidak ingin disebutkan namanya.
ü    Harus menguasai betul suatu bidang tertentu, baik ekonomi, politik, kebudayaan, hukum, teknologi, maupun lainnya. Ia adalah Literary Craftsman.




2.    Judul Berita
Demikian besarnya pengaruh judul berita terhadap opini pembaca, banyak negara yang mengeluarkan aturan penulisan terhadap berita. Dengan mengutip buku yang berjudul Exploring Journalism yang ditulin oleh R.E.Wolseley dan Laurence.R.C, Mochtar Lubis menyebutkan beberapa negara, diantaranya adalah Austria.
Dekrit 21 Juli 1933 yang dikeluarkan di Austria mengatur mengenai ketentuan penulisan judul berita yang mencakup sebagai berikut:
I.                    Berita dan karangan tidak boleh mempunyai judul yang tidak cocok dengan isi berita dan karangan tersebut.
II.                    Kepala berita tidak boleh dicetak dengan huruf lebih besar dari 12 pada (sekitar seperenam inci) dan panjang kepala berita juga tidak boleh lebih dari 15 cm.
Pelanggaran atas aturan ini dikenakan denda 2.000 (mata uang Austria).
Dalam Kode Etik Jurnalistik versi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang lama, terdapat satu pasal yang mengatur tentang penulisan judul berita. Namun sayang, dalam Kode Etik Jurnalistik Tahun 2000, pasal tersebut ternyata dihapus. Begitu juga dalam Kode Etik Jurnalistik Tahun 2006, hal yang sama tidak secara khusus diatur.
Pasal 9 Kode Etik Jurnalistik yang lama (dibuat dan disahkan pada tanggal 2 Desember 1994 di Batam, Provinsi Riau) mengatakan “Wartawan Indonesia menulis judul yang mencerminkan isi berita.”
Pernyataan ini, dari segi redaksi penerbitan pers, sesungguhnya mengandung arti yang sangat kuat sebab pada praktiknya, tuduhan tidak berdasar, pernyataan berita bohong, atau pencemaran nama baik ditunjukkan melalui penulisan judul berita.
Berikut beberapa tuntunan bagi Anda dalam menulis judul berita:
?    Tulis sesingkat mungkin dengan maksimal dua belas kata. Semakin singkat sebuah judul berita, akan semakin baik selama mampu memberi pemahaman yang sesuai dengan isi berita.
?    Terapkan ekonomi kata selama tidak menyalahi kaidah berbahasa dan mengubah makna kata atau kalimat.
?    Harus berisi fakta dan tidak boleh berisi opini, komentar atau ulasan. Tidak menggunakan kalimat tanya sebab kalimat tanya tidak faktual dan tidak objektif.
?    Mengandung faktor keluarbiasaan, menarik dan boleh berisi hal yang menegangkan tetapi tidak membohongi pembaca.
?    Gunakan kalimat aktif yang mengandung kata kerja supaya terkesan  dinamik, ‘gerak’ , dan hidup.
?    Hindari kata sifat sebab kata sifat tidaklah konkret dan abstrak.
Susunlah kalimat pembuka (teras) berita sebagai pokok berita, kemudian ambil judul dari teras tersebut. Artinya, jangan menuliskan judul sebelum merumuskan teras.

2.1  Syarat Judul Berita




Senin, 08 Oktober 2012

Sejarah Perkembangan Jurnalistik di Indonesia dan Dunia


Sejarah Jurnalistik di Indonesia
Di Indonesia, aktivitas jurnalistik dapat dilacak jauh ke belakang sejak zaman penjajahan Belanda. Jurnalistik pers mulai dikenal pada abad 18, tepatnya pada 1744, ketika sebuah surat kabar bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan dengan penguasaan orang-orang Belanda.  Pada 1776, juga di Jakarta, terbit surat kabar Vendu Niews yang mengutamakan diri pada berita pelanggan. Menginjak abad 19, terbit berbagai surat kabar lainnya yang kesemuannya masih dikelola orang-orang Belanda untuk para pembaca orang Belanda atau bangsa pribumi yang mengerti bahasa belanda. Surat kabar pertama sebagai bacaan untuk kaum pribumi dimulai pada tahun 1854 ketika majalah bianglala diterbitkan, disusul oleh Bromartani pada 1885, keduanya di Weltevreden, dan pada 1856 terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya (Effendy, 2003:104).
Sejarah jurnalistik pers pada abad 20, menurut guru besar ilmu komunikasi Universitas  Padjajaran (Unpad) Bandung itu, ditandai dengan munculnya surat kabar pertama milik bangsa Indonesia, Medan Prijaji terbit di Bandung. Surat kabar ini diterbitkan dengan modal dari bangsa Indonesia untuk bangsa Indonesia. Medan Prijaji dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono ini pada mulanya, 1907, berbentuk mingguan. Baru tiga tahun kemudian, 1910 berubah menjadi harian. Tirto Hadisurjo inilah yang dianggap sebagai pelopor yang meletakkan dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia.
Lima tahun kemudian, 1950, pers di Indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau terompet partai-partai politik besar. Inilah yang disebut pers partisan. Artinya, pers dengan sadar memilih untuk menjadi juru bicara sekaligus berperilaku seperti partai politik yang disukaidan didukungnya.
Era pers partisan tidak berlangsung lama. Sejak dekrit presiden 1 juli 1959, pers nasional memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan penerbitan pers diwajibkan memiliki surat ijin terbit (SIT).
Selama dua dasawarsa pertama orde baru, 1965-1985, kebebasan jurnalistik di Indonesia, memang bisa disebut  lebih banyak bersinggungan dengan dimensi , unsur, nilai, dan ruh politik. Sejarah menunjukan dalam lima tahun pertama kekuasaannya yang sangat represif dan hegemonic, orde baru bisa disebut sangat bersahabat dengan pers.
Setelah Soeharto menyerahkan jabatan kepada wakilnya BJ Habibie, disambut suka cita oleh rakyat Indonesia. Secara yuridis, UU Pokok Pers No. 21/1982 pun diganti dengan UU Pokok Pers No. 40/1999. Dengan Undang – undang dan pemerintahan baru, siapapun bisa menerbitkan dan mengelola pers. siapapun bisa menjadi wartawan dan masuk dalam organisasi pers manapun. Tak ada lagi kewajiban hanya menginduk kepada satu organisasi pers. Seperti ditegaskan pasal 9 Ayat (1) UU Pokok Pers No. 40/1999, setiap warga Negara Indonesia dan Negara berhak mendirikan perusahaan pers. Pada pasal berikutnya (2) ditegaskan lagi, setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Secara kuantitatif , dalam lima tahun pertama era reformasi1998-2003, jumlah perusahaan penerbitan pers di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Dalam kurun ini setidaknya tercatat 600 perusahaan penerbitan pers baru, 50 diantaranya terdapat di jawa barat. Jumlah ini sama dengan jumlah perusahaan penerbitan pers lama dalam era orde baru.
Sebanyak 47 persen responden menilai perlindungan kepada pers memang belum memadai. Sementara yang menganggap sebaliknya 40 persen. Penilaian inimenggambarkan kebebasan pers yang digenggam masih mengandung bara yang dapat menghanguskan dirinya sendiri (kompas, 7 Febuari 2005)
Cukup banyak sisi terang dari hasil kinerja jurnalistik Indonesia dalam tujuh tahun pertama era reformasi. Tak sedikit sisi gelap yang masih menyimpan persoalan, gugatan, bahkan ancaman yang cukup mengerikan.. tapi, bagi pers Indonesia, seperti juga sudah teruji, dan terbuktikan dalam sejarah, taka da istilah kalah atau menyerah untukmenghadapi apapun tantangan dan ancamanyang muncul. Kebebasan dan kebenaran, dimanapun, memang harus diperjuangkan.


Sejarah Jurnalistik Dunia
A.    Julius Caesar dan Acta Diurna
Sejarah Jurnalistik dimulai jaman Romawi Kuno, pada masa pemerintahan Julius Caesar (100-44 SM).  Pada saat itu, terdapat acta diurna yang memuat semua hasil sidang, peraturan baru, keputusan-keputusan senat dan berbagai informasi penting yang ditempel di sebuah pusat kota. “Acta Diurna”, yakni papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau papan informasi sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik pertama; pers, media massa, atau surat kabar harian pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”.
Namun sebenarnya, Caesar hanya meneruskan dan mengembangkan tradisi yang muncul pada permulaan berdirinya kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala kejadian penting dicatat pada “Annals”, yakni papan tulis yang digantungkan di serambi rumah. Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya.
Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum.
Berbeda dengan media berta saat ini yang 'mendatangi' pembacanya, pada waktu itu pembaca yang datang kepada media berita tersebut. Sebagian khalayak yang merupakan tuan tanah/hartawan yang ingin mengetahui informasi menyuruh budak-budaknya yang bisa membaca dan menulis untuk mencatat segala sesuatu yang terdapat pada Acta Diurna. Dengan perantaraan para pencatat yang disebut Diurnarii para tuan tanah dan hartawan tadi mendapatkan berita-berita tentang Senat.
Perkembangan selanjutnya pada Diurnarii tidak terbatas kepada para budak saja, tetapi juga orang bebas yang ingin menjual catatan harian kepada siapa saja yang memerlukannya. Beritanya pun bukan saja kegiatan senat, tetapi juga hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan menarik khalayak. Akibatnya terjadilah persaingan di antara Diurnarii untuk mencari berita dengan menelusuri kota Roma, bahkan sampai keluar kota itu.
Persaingan itu kemudian menimbulkan korban pertama dalam sejarah jurnalistik. Seorang Diurnarii bernama Julius Rusticus dihukum gantung atas tuduhan menyiarkan berita yang belum boleh disiarkan (masih rahasia). Pada kasus itu terlihat bahwa kegiatan jurnalistik di zaman Romawi Kuno hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informasi saja.
Tetapi kegiatan jurnalistik tidak terus berkembang sejak zaman Romawi itu, karena setelah Kerajaan Romawi runtuh, kegiatan jurnalistik sempat mengalami kevakuman, terutama ketka Eropa masih dalam masa kegelapan (dark ages). Pada masa itu jurnalistik menghilang.

Tourism


Tourism

1.               Tourism is an activity done by an individual or a group of individuals, which leads to a motion from a place to another. From a country to another for performing a specific task, or it is a visit to a place or several places in the purpose of entertaining which leads to an awareness of other civilizations and cultures, also increasing the knowledge of countries, cultures, and history.
2.               The practice of traveling for pleasure. The business of providing tours and services for tourists.
Source: The American Heritage® Dictionary of the English Language, Fourth Edition copyright ©2000 by Houghton Mifflin Company. Updated in 2009. Published by Houghton Mifflin Company. All rights reserved.
3.               Theobald (1994) suggested that "etymologically, the word tour is derived from the Latin, 'tornare' and the Greek, 'tornos', meaning 'a lathe or circle; the movement around a central point or axis'. This meaning changed in modern English to represent 'one's turn'. The suffix –ism is defined as 'an action or process; typical behaviour or quality', while the suffix, –ist denotes 'one that performs a given action'. When the word tour and the suffixes –ism and –ist are combined, they suggest the action of movement around a circle. One can argue that a circle represents a starting point, which ultimately returns back to its beginning. Therefore, like a circle, a tour represents a journey in that it is a round-trip, i.e., the act of leaving and then returning to the original starting point, and therefore, one who takes such a journey can be called a tourist.
4.               Tourism is travel for recreational, leisure or business purposes. The World Tourism Organization defines tourists as people "traveling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purposes". Source: Wikipedia
So, the conclusion about tourism is someone or group of people doing activity travelling from place to another place.